Pantai Tanjung Lesung - Foto : Istimewa |
Alkisah zaman dahulu kala, di sebuah desa hiduplah seorang pemuda bernama Raden Budog. Pemuda tampan yang tak lain adalah anak sulung sang kepala desa. Suatu hari setelah lelah berlatih ilmu kanuragan di tepi pantai, Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang yang rindang, Raden Budog bermimpi mengembara ke arah utara, dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik bagaikan bidadari dari khayangan.
.
Dalam mimpinya, gadis tersebut tersenyum kepadanya, dan mengulurkan tangannya. Namun, saat ia menyambut tangan gadis tersebut, tiba-tiba sebuah ranting kering jatuh mengenai dahinya. Ia pun terkejut dan terbangun dari tidurnya. Karena merasa tidak dapat melanjutkan mimpi indahnya, ia pun langsung membanting ranting tersebut.
Lalu ia pulang ke desanya, namun betapa kagetnya, ketika mendapati desanya sudah hancur berantakan, ditambah bebeapa mayat bergelimpangan. Ia pun langsung bergegas menuju rumahnya. Ternyata ayahnya sudah tergeletak sekarat di halaman, namun sebelum tewas ayah Raden Budog bercerita bahwa desa telah diserang oleh sekelompok orang bertopeng. Setelah menyerahkan sebuah kalung tengkorak, milik para perampok kejam kepada Raden Budog, tak lama berselang sang kepala desa malang itu pun meregang nyawa.
Raden Budog kini tidak memiliki rumah lagi di desa kelahirannya, sehingga ia memutuskan untuk mengembara bersama anjing dan kuda kesayangannya, untuk mencari para perampok bengis, pemilik kalung tengkorak itu, untuk membalas dendam.
Sejak bermimpi bertemu dengan wanita cantik tersebut, membuat hati Raden Budog selalu gundah gulana, karena selalu terbayang senyum manis gadis yang ada dalam mimpinya, yang ia yakini bahwa itu adalah kenyataan. Berbekal makanan secukupnya serta sebilah golok dan batu asah, dan untuk memenuhi penasarannya, ia memutuskan untuk terus berjalan ke utara, dengan menunggang kuda kesayangannya, sementara anjingnya berjalan di depan sambil mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya.
Lalu ia pulang ke desanya, namun betapa kagetnya, ketika mendapati desanya sudah hancur berantakan, ditambah bebeapa mayat bergelimpangan. Ia pun langsung bergegas menuju rumahnya. Ternyata ayahnya sudah tergeletak sekarat di halaman, namun sebelum tewas ayah Raden Budog bercerita bahwa desa telah diserang oleh sekelompok orang bertopeng. Setelah menyerahkan sebuah kalung tengkorak, milik para perampok kejam kepada Raden Budog, tak lama berselang sang kepala desa malang itu pun meregang nyawa.
Raden Budog kini tidak memiliki rumah lagi di desa kelahirannya, sehingga ia memutuskan untuk mengembara bersama anjing dan kuda kesayangannya, untuk mencari para perampok bengis, pemilik kalung tengkorak itu, untuk membalas dendam.
Sejak bermimpi bertemu dengan wanita cantik tersebut, membuat hati Raden Budog selalu gundah gulana, karena selalu terbayang senyum manis gadis yang ada dalam mimpinya, yang ia yakini bahwa itu adalah kenyataan. Berbekal makanan secukupnya serta sebilah golok dan batu asah, dan untuk memenuhi penasarannya, ia memutuskan untuk terus berjalan ke utara, dengan menunggang kuda kesayangannya, sementara anjingnya berjalan di depan sambil mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya.
Ternyata ia harus menempuh perjalanan menyusuri tanah berbatu, dan menanjak. Ketika tiba di Gunung Walang kuda yang ditunggangi Raden Budog terperosok. Mereka berdua terjatuh bergulingan hingga ke lereng gunung. Raden Budog menderita luka lecet di sekujur tubuhnya, sementara kuda tunggangannya menderita hal yang sama, hingga pelana kudanya pun turut rusak.
Menyadari bahwa kuda kesayangannya terluka, dan kelelahan, Raden Budog memutuskan unruk beristirahat sejenak. Beberapa jam kemudian ia melanjutkan lagi perjalanan. Kali ini ia berjalan bersama dengan kuda dan anjingnya menuju ke daerah Tali Alas.
Penulis berdiri tepat di samping Pilar |
Dalam perjalannya dari Tali Alas, Raden Budog sempat singgah di Pantai Cawar, untuk membasuh muka dan badannya dengan air pantai yang sejuk, sehingga dapat memulihkan staminanya, yang kemudian ia pergi ke muara sungai yang ada di sekitar pantai, untuk membasuh tubuhnya dengar air tawar.
Setelah tenaganya pulih, ia pun menghampiri kuda dan anjingnya yang duduk di tepi pantai, untuk melanjutkan pengembaraannya. Ia tidak menyangka, karena tidak seperti biasanya, kehadirannya, tidak dihiraukan oleh kedua sabahabanya tersebut, karena mungkin kedua sahabatnya itu sudah sangat kelelahan.
Meskipun Raden Budog sudah menyapanya berkali-kali, namun kedua sahabatnya tersebut, tetap saja tidak bergeming seperti batu. Hal ini membuat Raden Bulog sangat kesal, dan berucap “Jika kalian tetap diam seperti karang, dan tidak mau menuruti perintahku, akan kutinggalkna kalian di sini,” bentak Raden Budog dengan marah kepada dua sahabatnya tersebut.
Dengan tekad yang terus membara, akhirnya Raden Budog terpaksa meneruskan perjalanan seorang diri menuju arah Legon Waru, dengan berjalan kaki seorang diri.
Setibanya di Legon Waru, Raden Budog beristirahat di suatu tempat. Badannya terasa teramat letih sekali, karena membawa batu asah yang tadinya dibawa oleh sang kuda. Saat hendak melanjutkan perjalanan kembali, ditinggalkanlah batu asah tersebut. Konon, batu asah tadi menjelma menjadi sebuah karang. Oleh masyarakat setempat, karang jelmaan batu asah milik Raden Budog itu dinamakan sebagai Karang Pangasahan.
Saat menyusuri pantai, tiba-tiba turun hujan lebat, ia pun terpaksa berhenti dan mencari tempat berteduh. Guyuran air hujan membuat basahnya pasir pantai, yang secara perlahan-lahan muncullah ratusan ekor anak penyu berjalan menuju pantai. Oleh masyarakat setempat, lokasi kemunculan para penyu itu kemudian dinamakan sebagai Cipenyu.
Di tengah hujan lebat, Raden Budog bertemu dengan para perampok pembunuh ayahnya. Jumlah mereka cukup banyak. Dendam yang membara, membuat Raden Budog tanpa pikir panjang langsung menyerang para perampok yang dipimpin oleh Jarot itu. Tapi Naas, Raden Budog kalah, ia terluka parah. Raden Budog terpaksa melarikan diri. Jarot dan anak buahnya mengejar.
Beruntung Raden Budog selamat dengan bersembunyi di dalam goa. Untuk mengelabuhi Jarot dan anak buahnya, ia menutup mulut goa itu dengan daun yang digunakan tadi sebagai penutup kepala, sebelum bertemu Jarot dan kawanannya. Setelah hujan reda dan para perampok sudah tidak ada, ia lalu bergegas keluar untuk melanjutkan pencariannya. Namun entah kenapa, daun yang digunakan sebagai penutup goa tadi tetap menempel dan menjadi keras. Oleh masyarakat setempat, goa itu kemudian dinamakan sebagai Karang Meumpeuk.
Langkah kaki Raden Budog membawanya ke sebuah muara sungai yang sedang meluap. Ia terpaksa menghentikan perjalanannya karena sungai itu sedang banjir besar. Selanjutnya, sungai yang meluap itu diberi nama juga oleh masyarakat setempat sebagai "Kali Caah" yang berarti "sungai yang sedang banjir".
Sesaat Raden Budog sedang merebahkan tubuhnya, tiba-tiba ia mendengar suara lesung dari seberang sungai. Tanpa pikir panjang, dan ia pun meyakini bahwa di seberang sungai inilah terdapat kampung, tempat tinggal gadis yang dijumpainya dalam mimpi. Ia pun langsung menyeberangi sungai yang sedang banjir tersebut.
Saat tiba di pintu masuk kampung, Raden Budog memutuskan untuk beristirahat sejenak, guna memulihkan tenaganya sambil mengamati keadaan sekitar.
Tiba-tiba terdengar kembali sayup-sayup alunan bunyi tumbukan lesung nan merdu dari arah lumbung desa itu Setelah didekati, ternyata ada sekelompok gadis sedang Ngagondang, sebuah permainan sambil menumbuk padi dengan cara tertentu, agar terdengar merdu dan indah. Permainan ini dianggap sakral dan tidak diperkenankan dimainkan pada hari Jumat. Bagi orang yang melanggar akan berakibat buruk pada dirinya sendiri.
Seketika Raden Budog tertuju pada seorang gadis cantik jelita yang sedang mengayunkan tangannya, dan memberi aba-aba pada gadis-gadis yang lainnya. Gadis cantik itu, ternyata bernama Sri Poh Haci, pemimpin kelompok gadis-gadis yang sedang bermain Ngagondang tersebut.
Sebelum kedatangan Raden Budog, ternyata sudah banyak pemuda kampung yang berusaha mendapatkan hati Sri Poh Haci, namun mereka selalu ditolak. Meskipun demikian, Dimas seorang pemuda gagah di kampungnya, tidak pernah berhenti berusaha merebut hati Sri Poh Haci, agar mau menerima cintanya.
Diam-diam Raden Budog yang kegirangan, karena mimpinya jadi kenyataan, mengikuti Sri Poh Haci dari belakang.
Setiba di rumah, Ibu dari Sri Poh Haci bertanya keheranan, mengapa anaknya hanya sebentar bermain lesungnya?
Sri Poh Haci pun menjelaskan, bahwa tadi ada pemuda tampan yang belum dikenalnya, yang terus memandanginya, yang membuat dirinya menjadi malu.
Baru saja mereka membicarakan pemuda asing tersebut, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumah mereka. Nyi Siti pun langsung bergegas membukakan pintu, dan tampaklah seorang pemuda tampan nan gagah perkasa berdiri di depan pintu.
Saat Raden Budog bertatap muka dengan Nyi Siti, tanpa basa basi, Raden Budog langsung memperkenalkan diri, bahwa ia adalah seorang pengembara yang sedang mampir di kampung ini. Dan tanpa basa basi, ia langsung mengutarakan, niatnya untuk menumpang bermalam di rumah Nyi Siti.
Selain terkejut Nyi Siti mendengar permintaan pemuda yang tidak dikenalnya itu, ia juga heran dan curiga, karena mereka belum saling mengenal. Dengan tegas Nyi Siti menyatakan, bahwa ia hanya tinggal berdua dengan anak gadisnya, maka dirinya tidak berani menerima laki-laki, apalagi jika menginap, seraya menutup pintu.
Selain terkejut Nyi Siti mendengar permintaan pemuda yang tidak dikenalnya itu, ia juga heran dan curiga, karena mereka belum saling mengenal. Dengan tegas Nyi Siti menyatakan, bahwa ia hanya tinggal berdua dengan anak gadisnya, maka dirinya tidak berani menerima laki-laki, apalagi jika menginap, seraya menutup pintu.
Mendapat perlakuan dari Nyi Siti, Raden Budog merasa kesal, karena permintaannya ditolak. Tetapi karena hari sudah mulai gelap, ia memutuskan untuk beristirahat di bale-bale bambu yang ada dekat rumah Nyi Siti.
Karena lelahnya Raden Budog langsung tertidur. Kembali di dalam tidurnya, ia bermimpi, bahwa ia diizinkan menginap. Namun, bukan Nyi Siti yang mengizinkannya, melainkan Sri Poh Haci.
Saat sedang bermimpi dalam lelapnya tidur, tiba-tiba Raden Budog mencium bau wangi kopi. Seketika itu pula ia membuka mata, dan ternyata hari sudah terang. Yang mengagetkannya lagi, ada seorang gadis cantik berdiri tepat di sebelahnya, dan mempersilahkan untuk meminum kopi yang sudah dihidangkan oleh Sri Poh Haci, gadis idamannya.
Karena lelahnya Raden Budog langsung tertidur. Kembali di dalam tidurnya, ia bermimpi, bahwa ia diizinkan menginap. Namun, bukan Nyi Siti yang mengizinkannya, melainkan Sri Poh Haci.
Saat sedang bermimpi dalam lelapnya tidur, tiba-tiba Raden Budog mencium bau wangi kopi. Seketika itu pula ia membuka mata, dan ternyata hari sudah terang. Yang mengagetkannya lagi, ada seorang gadis cantik berdiri tepat di sebelahnya, dan mempersilahkan untuk meminum kopi yang sudah dihidangkan oleh Sri Poh Haci, gadis idamannya.
Raden Budog yang kaget, dan dengan pura-pura tidak tahu bahwa gadis itu adalah anak Nyi Siti, namun dalam hatinya sangatlah kegirangan, yang langusng menanyakan nama gadis tersebut. Lalu Sri Poh Haci pun memberitahukan namanya dengan malu-malu, dan senyum manisnya, karena dirinya sebenarnya merasa jatuh hati juga dalam pandangan pertama.
Raden Budog akhirnya dapat tinggal di kampung tersebut. Ia memang seorang yang rajin, sehinga tidak segan-segannya ia membantu penduduk dalam bekerja di sawah mereka. Raden Budog dan Sri Poh Haci semakin lama semakin akrab. Diam-diam Sri Poh Haci juga menaruh hati kepada Raden Budog. Namun kedekatan mereka tak disukai oleh Dimas, pemuda gagah yang sudah menyukai Sri Poh Haci sejak lama. Tak heran jika sering kali Raden Budog dan Dimas berseteru.
Hanya dalam waktu relatif singkat, kedua sejoli ini berhasil menjalin cinta kasih, dan bersepakat untuk menikah.
Mendengar hubungan percintaan anaknya dengan Raden Budog, Nyi Siti tidak setuju jika anaknya akan menikah dengan pemuda keras kepala yang tidak jelas asal-usulnya itu.
Tiba-tiba datanglah masalah besar, dimana para perampok pimpinan Jarot menyerang kampung Sri Poh Haci di saat mereka sedang mengadakan Ngagondang. Pertempuran terjadi. Jarot rupanya hendak menculik Sri Poh Haci untuk dijadikan istri. Dimas pun tak tinggal diam, ia segera menyerang, tapi sayang Dimas tewas di tangan kawanan Jarot.
Raden Budog yang tak mau lagi kehilangan orang yang ia cintai, segera menyerang Jarot, dan akhirnya berhasil menghabisi Jarot, sehingga membuat anak buahnya kocar kacir.
Kampung Sri Poh Haci terselamatkan, Raden Budog kini dikenal sebagai pahlawan. Nyi Siti yang tadinya tidak menyetujui pernikahan Sri Poh Haci dengan Raden Budog. Namun, karena tidak ingin menyakiti hati anaknya, ia pun terpaksa merestui pernikahannya.
Sri Poh Haci dan Raden Budog memutuskan untuk tetap tinggal di kampung itu, hal ini membuat Raden Budog berkesempatan untuk tetap dapat memainkan Ngagondang. Raden Bulog sangat senang mendengar alunan nada Lesung, olehkarenanya setiap kali Sri Poh Haci memainkan Lesung bersama gadis-gadis lainnya, Raden Budog selalu datang untuk menikmati alunan nada Ngagondang.
Saking senangnya dengan bunyi Lesung, Raden Budog belajar Ngagondang, dan memainkannya setiap hari. Sampai-sampai ia terkadang lupa waktu, dan tetap bermain Lesung walaupun pada hari Jumat. Padahal, istrinya dan mertuanya sudah memberi tahu sebelumnya, bahkan para tetua kampung pun turut menasehatinya, bahwa bermain Lesung pada Jumat sangat dipantangkan.
Raden Budog yang keras kepala, tidak menghiraukannya, dan tetap bermain Lesung di hari Jumat. Bahkan ia semakin menjadi-jadi, dan menabuh Lesung sambil melompat-lompat kegirangan, dan bergerak ke sana ke mari seperti seekor Lutung (Kera hitam berekor panjang).
Saat perubahan itu terjadi, masyarakat dikagetkan yang memainkan Lesung ternyata Lutung |
Sejak hari Jumat itulah, Raden Budog menjadi Lutung, dan tidak pernah lagi kembali ke wujud aslinya sebagai manusia.
Melihat kenyataan yang ada, Sri Poh Haci sangat terpukul hatinya, dan merasa sangat malu atas peristiwa tersebut. Seiring hilangnya Raden Bulog yang lari ke hutan, Sri Poh Haci, yang tidak kuat menanggung malu, ia pun memutuskan untuk pergi dari kampung halamannya secara diam-diam, dan hilang entah ke mana.
Dari Legenda yang berkembang di masyarakat setempat, Sri Poh Haci telah menjelma menjadi "Dewi Padi."
Untuk mengenang kepiawaian Sri Poh Haci bermain Lesung, masyarakat setempat menyebut kampung itu dengan nama "Kampung Lesung," dan karena kampung ini berlokasi di sebuah Tanjung, maka kampung ini diberi nama "Tanjung Lesung." (EW) | Kumpulan Legenda - Komunitas Tanah Impian
Foto : Istimewa
Dari Legenda yang berkembang di masyarakat setempat, Sri Poh Haci telah menjelma menjadi "Dewi Padi."
Untuk mengenang kepiawaian Sri Poh Haci bermain Lesung, masyarakat setempat menyebut kampung itu dengan nama "Kampung Lesung," dan karena kampung ini berlokasi di sebuah Tanjung, maka kampung ini diberi nama "Tanjung Lesung." (EW) | Kumpulan Legenda - Komunitas Tanah Impian
Foto : Istimewa