![]() |
Ilustrasi konfigurasi politik jelang pilpres |
Tahun 2018 ini di beri nama baru yakni tahun politik. Penamaan tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya karena tahun 2018 ini pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak, ada 171 daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah, yang terdiri dari 17 propinsi melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, lalu 39 Kota dan 115 kabupaten yang laksanakan pilkada Walikota dan Wakil Walikota serta Bupati dan Wakil Bupati. Itu sebabnya tahun ini di sebut tahun politik, bukan tahun 2018, hmm.
Partai Politik (Parpol) yang mengusung atau mendukung pasangan calon (Paslon) kepala daerah, baik untuk tingkat Propinsi maupun di tingkat Kota maupun Kabupaten - adalah partai partai yang telah membangun "koalisi" pada 2014 lalu. Namun koalisi tahun 2014 ternyata tidak serta merta berbanding lurus dalam petarungan perebutan kursi orang nomor satu di daerah, baik Propinsi, Kota maupun Kabupaten.
Konfigurasi politik yang kini terpetakan dalam konstelasi pilkada di 171 daerah nyata nyata amat berwarna, hal ini di maknai sebagai bagian dari "tes jelang pilpres 2019" artinya gandeng dan tidak gandeng antara satu partai dengan partai lain dalam satu daerah berbeda dengan daerah lainnya, itu terlihat pada pilgub di Jawa Barat dan Jawa Timur, semisal Gerindra di Jawa Barat gabung bareng PKS dan PAN, tetapi di Jawa Timur, Gerindra gabung bareng dengan PDIP, PKB, sementara PDIP di Jawa Barat nekat usung paslon nya sendirian (tanpa adanya dukungan dari parpol lain), hal ini yang merupakan bahwa konfigurasi di pilkada merupakan "tes modulasi suara" ke arah pilpres 2019 mendatang, dan ini memang menjadikan hangatnya suhu politik tanah air.
*Pilpres 2019*
Mencoba menyambungkan konfigurasi politik (baca:partai politik) didalam pilkada serentak di tahun politik 2018 ini, berdampak pada tahun politik berikutnya yakni 2019 dimana ditahun tersebut bakal dilangsungkan pilleg dan pilpres serentak. Semua pembesar parpol lawas hasil pilleg 2014 lalu, dalam beberapa pekan belakangan sibuk wira wiri mencari gandengan, untuk bersama sama berjuang di pilpres 2019 mendatang.
Saat ini tengah ramai di kata katain (kalimat lain dari di bicarakan) di masyarakat adalah istilah poros. Saat ini yang hampir mendekati adalah poros satu yang mengusung pertahana, yakni Jokowi untuk maju lagi dalam pilpres 2019, tentunya sementara ini semua hampir sepakat bahwa pengusung poros satu adalah PDIP sebagai partai yang paling "berhak" menhklaim bahwa Jokowi adalah "kader petugas partainya" - kecuali Jokowi kemudian menolak disebut "kader petugas partai" maka polarisasi poros satu menjadi berubah. Selanjutnya poros kedua, yang juga dikata katain oleh masyarakat bahwa poros kedua digadang gadang di motori oleh Gerindra, yang juga telah di ketahui masyarakat acapkali melakukan pertemuan dengan "konco lawas" nya, PKS dan PAN, jika tidak ada perubahan (seperti bencana nasional) maka poros kedua hampir pasti diisi oleh Gerindra, PKS dan PAN, meski Ketua Umum PAN dalam satu wawancara masih berbahasa politik - bahwa bisa iya, bisa iya juga sih...dengan memakai istilah eksak (matematis) bahwa pembentukan poros satu, dua dan tiga masih mungkin atau hanya ada poros satu dan poros dua sebagaimana pertarungan 2014 lalu pada pilpres. Kemudian yang terakhir adalah poros ketiga, yang pingin juga dikata katain oleh masyarakat, agar sejajar dengan kedua poros sebelumnya. Poros ketiga menurut berita yang beredar, diharapkan digawangi oleh Demokrat, ini berarti SBY menjadi tokoh sentral poros Ketiga. Jika merujuk pada aturan maka yang boleh mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah partai atau gabungan partai politik (hasil pilleg 2014) yang memperoleh 20 % kursi di DPR RI atau 25 % dari jumlah suara yang sah.
Kini tinggal rakyat, selaku pemilik syah kedaulatan untuk menentukan pilihannya kelak di 2019 (padahal masih lama ya). Namun yang patut untuk di ingat dan dilaksanakan adalah, siapapun yang di calonkan sebagai presiden dan wakil presiden pastilah putra terbaik bangsa Indonesia, dan pilpres 2019 kelak bukan untuk gontok gontokan, karena yang bakal dipilih adalah presiden bukan jawara. Persatuan dan Kesatuan NKRI adalah yang patut di wujudkan agar program untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai dalam tempo yang sesingkat singkatnya, untuk itu kita segenap warga negara harus tanamkan semangat *Kerja Keras dengan Cerdas*
Selamat berdemokrasi.