Ilustrasi pilkada 2020 (istw) |
Depok, (Depokini) - Menjadi kepala daerah yang sedang menjabat, harusnya jadi modal kuat untuk dicalonkan kembali untuk tampil pada kontestasi periode keduanya, tapi hal itu tidak bagi Mohammad Idris, wali kota Depok yang akan menghadapi periode kedua kepemimpinannya.
Idris yang bukan kader partai, nampaknya bakal ditinggalkan oleh partai yang dulu mencalonkannya.
Gerindra, adalah salah satu partai pengusung Idris di pilkada 2015 lalu, yang sudah memastikan menyiapkan wakil wali kota petahana, Pradi Supriatna sebagai calon wali kota Depok 2021-2026. Sementara, PKS partai yang dulu mencalonkan Idris, bahkan tidak menyebut namanya sebagai tiga kader internal yang disiapkan untuk menjadi calon wali kota.
Bahkan Presiden PKS, Sohibul Iman mengatakan dalam satu kesempatan, mengatakan bahwa eksternal partai adalah ban serep, seperti di ketahui, Idris memang tidak tercatat sebagai kader partai manapun, meski kadang, Idris dianggap sebagai representasi PKS.
Sebelum menjadi Walikota Depok, Idris adalah wakil wali kota yang mendampingi Nur Mahmudi Ismail di periode kedua 2010-2015. Idris kemudian melanjutkan estafet rezim PKS di Kota Belimbing itu saat memenangkan pilkada berpasangan dengan kader Gerindra Pradi Supriatna.
Ilustrasi Koalisi PDIP - Gerindra (istw) |
Sekretaris DPC Gerindra Depok, Hamzah, mengungkapkan, memang dari luar tidak terlihat ketidakharmonisan antara Pradi dan Idris. Namun partainya kecewa karena selama empat tahun ini, Pradi tidak diberi peran yang cukup sebagai wakil wali kota.
Padahal, lanjut dia, saat mengusung Idris dan Pradi di pilkada 2015 lalu, kursi Gerindra lebih banyak dari PKS.
"Gerindra punya 9 kursi, PKS 6 kursi, kita mengalah menjadi D2 (Depok 2). Tapi dalam perjalanannya ternyata Bang Pradi itu tidak diberikan kewenangan apa pun untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik ataupun kebijakan pemerintah," ujarnya kepada awak media, Selasa (18/2) lalu.
Dia mengakui, secara undang-undang, pembuat keputusan dan pengambil kebijakan adalah wali kota, namun Pradi lebih banyak ditugasi untuk hadir di acara-acara seremonial saja. "Atas dasar itu akhirnya kita memutuskan kita mengusung kader sendiri. Pak pradi ini tidak diberikan kewenangan apa-apa, selalu ditinggal, ada keputusan dan kebijakan pemerintah tidak pernah diajak bicara," ungkap Hamzah.
"Dikasih tugas cuma menghadiri ini, menghadiri itu, seremonial aja. Itu keprihatinan kita sehingga kita ingin pisah," imbuhnya.
Selain itu, kata Hamzah, mengutip hasil survei, tingkat kepuasan terhadap hasil pembangunan di Kota Depok sangat memprihatinkan. Seperti di sektor kemacetan, penanganan kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan pendidikan.
Terpisah, PDIP yang sudah memutuskan berkoalisi dengan Gerindra mengusung pasangan Pradi-Afifah memang tidak mempertimbangkan mencalonkan Idris.
"Enggak, dari awal sudah menutup peluang. Bagi kami terlalu banyak perbedaan," cetus Sekretaris DPC PDIP Depok Ikravany Hilman kepada awak media.
Selain perbedaan soal ideologi, Ikravany juga menilai sosok Idris tidak memenuhi kriteria kepala daerah yang tepat untuk diusung PDIP. Dia membandingkan dengan kader PDIP yang menjadi Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, hingga Joko Widodo saat memimpin Solo.
"Itu ada standar tertentu, pemimpin partai itu sebetulnya bisa berbuat banyak menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Nah di Depok ini, Idris bukan tipe seperti itu. Jadi jauhlah, kami punya keinginan Depok ini punya banyak terobosan-terobosan, tidak bisa business as usual. Nah Idris bukan orang yang pas untuk itu," pungkasnya.
(MasGatot)