Makam Mujair, penemu ikan Mujair |
Depok, (depoKini) - Articles in English, after Articles in Indonesian.
Indonesian
Pada 1936, Mudjair, seorang pegawai desa dari Desa Papungan, Kanigoro, Blitar, pergi ke Teluk Serang yang terletak di laut selatan. Di sana dia menemukan berbagai jenis ikan yang belum diketahui sebelumnya. Dia membawa pulang lima jenis ikan dan memeliharanya di kolam pekarangan rumah.Ternyata, satu jenis ikan berkembang cepat, bahkan bisa bertelur dengan cara menyimpannya di dalam mulut hingga masa menetas jadi anak ikan. Seiring waktu, ikan ini mendapat perhatian warga desa.
Kabar itu sampai ke telinga Schuster, kepala penyuluhan perikanan di Jawa Timur. Dia berkunjung ke Papungan untuk melihat ikan temuan Mudjair. Ternyata ikan tersebut diidentifikasi sebagai Tilapia mossambica, yang berasal dari Afrika. Dengan cepat ikan temuan Mudjair dibudidayakan karena cepat bertelur, pertumbuhannya cepat, dan mudah beradaptasi dengan segala lingkungan air mulai kolam hingga rawa-rawa.
Pada 27 Agustus pemerintah Belanda mengapresiasi usaha Mudjair dengan memberinya santunan sebesar Rp6,- per bulan. Saat pendudukan Jepang, ikan mujair kian populer. Pasukan Jepang, seperti tercatat dalamTilapia: Biology, Culture, and Nutritionsuntingan Carl D. Webster dan Chhorn Lim, membawanya ke seluruh daerah untuk dibudidayakan dalam tambak-tambak. Dan Mudjair diangkat sebagai pegawai negeri tanpa harus mendapatkan beban kerja. Enam tahun setelah Indonesia merdeka, Mudjair menerima surat tanda jasa dari Kementerian Pertanian atas jasanya sebagai penemu dan perintis perkembangan ikan mujair.
Sumber: Majalah @indohistoria
English
The news reached Schuster, head of fisheries extension in East Java. He visited Papungan to see the fish Mudjair found. It turned out that the fish was identified as Tilapia mossambica, which is native to Africa. Quickly the fish found by Mudjair were cultivated because they lay eggs quickly, grow quickly, and easily adapt to all water environments, from ponds to swamps.
On August 27, the Dutch government appreciated Mudjair's efforts by giving him compensation of Rp. 6 per month. During the Japanese occupation, tilapia fish became increasingly popular. Japanese troops, as recorded in Tilapia: Biology, Culture, and Nutrition edited by Carl D. Webster and Chhorn Lim, brought them all over the area to be cultivated in ponds. And Mudjair was appointed as a civil servant without having to get a workload. Six years after Indonesia's independence, Mudjair received a letter of honor from the Ministry of Agriculture for his services as an inventor and pioneer in the development of tilapia fish.
Source: @indohistoria magazine