![]() |
Photo : ilustrasi revisi UU MD3 (istw) |
Jakarta, (depoKini) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai, ketentuan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam pemeriksaan anggota DPR bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Laode menyatakan, keterlibatan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR telah dibatalkan oleh putusan MK.
"Kalau sudah dibatalkan yang dianggap bertentangan dengan konsitusi dan dibuat lagi, itu secara otomatis bertentangan dengan konsitusi," kata Laode di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Karena sudah disahkan, ia pun menyatakan Undang-Undang MD3 bisa digugat kembali ke MK oleh masyarakat atau pihak yang tidak sepakat.
Ia pun menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Ia pun mengaku kaget keterlibatan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR kembali diadopsi.
"Saya, Pak Agus, Bu Basaria, kalau mau dipanggil polisi tidak perlu izin siapa pun" kata Laode.
Dirinya lalu menambahkan, bahwa Presiden pun tidak membentengi dirinya dengan imunitas seperti itu (DPR). Makanya, saya juga kaget, imbuh Wakil Ketua KPK serius.
DPR dan pemerintah sepakat bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
Klausul itu menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait Pasal 245.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD sehingga izin diberikan oleh presiden. Kini DPR mengganti izin MKD dengan frasa "pertimbangan".
Sementara, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas menjamin pasal tersebut tak akan menghambat proses pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum.
Sebab, MKD hanya memberi pertimbangan dan tak wajib digunakan presiden dalam memberi izin. Papar Supratman. (GDP)